Sebelum buku ditulis, sebelum layar menyala, cerita hidup lewat suara. Di malam-malam tanpa listrik, orang-orang duduk melingkar, dan satu suara bercerita. Ia bukan hanya menyampaikan kisah, tapi menyalurkan roh zaman, petuah, dan ingatan kolektif alternatif ijobet yang diwariskan turun-temurun. Inilah tradisi lisan—seni tua yang kini mulai menghilang ditelan deru zaman.
Dulu, kakek dan nenek kita punya peran khusus: pendongeng, penutur sejarah keluarga, penyampai mitos desa. Mereka tak butuh panggung megah, cukup tikar dan keheningan. Dari mulut mereka lahir cerita tentang asal-usul gunung, legenda sungai, atau tokoh-tokoh sakti yang kini hanya terdengar samar. Setiap kisah bukan hanya hiburan, tapi pengikat antara masa lalu, kini, dan nanti.
Namun kini, siapa yang masih mendengarkan? Anak-anak lebih akrab dengan cerita dari YouTube ketimbang dari kakeknya sendiri. Bahkan di desa, dongeng-dongeng lama digantikan sinetron. Tradisi lisan tergeser perlahan, tanpa ada yang benar-benar menyadarinya.
Padahal, tradisi lisan adalah arsip hidup. Ia menyimpan nilai, bahasa daerah, hingga kearifan lokal yang tak tertulis di buku. Saat seorang pendongeng meninggal tanpa sempat mewariskan kisahnya, bukan hanya satu suara yang hilang, tapi juga potongan sejarah yang tak akan pernah kembali.
Namun, belum terlambat. Di beberapa tempat, para pegiat budaya mulai menghidupkan kembali tradisi ini. Mereka mengajak anak-anak muda untuk merekam cerita kakek-nenek mereka, mengadakan malam dongeng di kampung, dan bahkan menyisipkan cerita lisan ke dalam pertunjukan modern. Karena mereka tahu: jika cerita berhenti diceritakan, maka ia mati.
Mendengarkan cerita dari mulut seseorang berbeda dengan membacanya atau menontonnya. Ada jeda napas, tekanan suara, dan getar emosi yang menyusup pelan ke hati. Ada koneksi manusia yang tidak bisa digantikan oleh teknologi. Tradisi lisan adalah seni mendengarkan, seni memahami tanpa tergesa.
Kini, saat dunia bergerak cepat dan semua ingin instan, mari duduk sejenak. Dengarkan. Mungkin dari angin yang berhembus di sela dedaunan, ada kisah lama yang menunggu untuk diceritakan kembali. Karena sejatinya, selama masih ada yang bercerita, cerita itu belum mati.